Panduan Shalat Gerhana Matahari (Hukum, Waktu dan Tata Cara)

Gerhana merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Ketika ada gerhana matahari seperti yang akan terjadi pada esuk hari, Islam mensyariatkan shalat gerhana.

Hukum Shalat Gerhana Matahari


Para ulama sepakat bahwa shalat gerhana matahari (kusuf) adalah sunnah muakad. Yakni sunnah yang sangat dianjurkan. Shalat gerhana matahari ini sunnah muakkad bagi muslim laki-laki maupun perempuan.

Waktu Shalat Gerhana Matahari


Waktu pelaksanaan shalat gerhana matahari terbentang sejak mulainya gerhana (matahari mulai tertutupi bulan) hingga gerhana berakhir (matahari kembali ke kondisi semula).

Tata Cara Shalat Gerhana Matahari


Shalat gerhana matahari lebih utama dikerjakan secara berjamaah, meskipun sebagian ulama membolehkan shalat gerhana matahari dikerjakan secara sendirian. Menjelang pelaksanaan shalat gerhana matahari, hendaklah muadzin mengumandangkan lafazh "Ash shalaatu jaami'ah". Tidak perlu ada adzan dan iqamat.

Jumhur ulama mengatakan bahwa shalat gerhana matahari dilakukan sebanyak dua rakaat. Setiap rakaat harus dilakukan dua kali ruku'.

Sebagaimana hadits-hadits berikut ini:

خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى حَيَاةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ قَامَ فَاقْتَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِىَ أَدْنَى مِنَ الْقِرَاءَةِ الأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً هُوَ أَدْنَى مِنَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ سَجَدَ - وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو الطَّاهِرِ ثُمَّ سَجَدَ - ثُمَّ فَعَلَ فِى الرَّكْعَةِ الأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى اسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ النَّاسَ فَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلاَةِ

Pada saat Nabi hidup, terjadi gerhana matahari. Rasulullah keluar ke masjid, berdiri dan membaca takbir. Orang-orang pun berdatangan dan berbaris di belakang beliau. Beliau membaca surat yang panjang. Selanjutnya beliau bertakbir dan ruku'. Beliau memanjangkan waktu ruku' hampir menyerupai waktu berdiri. Selanjutnya beliau mengangkat kepala dan membaca "Sami'allaahu liman hamidah, rabbanaa walakal hamdu". Lalu berdiri lagi dan membaca surat yang panjang, tapi lebih pendek daripada bacaan surat yang pertama. Kemudian beliau bertakbir dan ruku'. Waktu ruku' ini lebih pendek daripada ruku' pertama. Setelah itu beliau sujud. Pada rakaat berikutnya, beliau melakukan perbuatan yang sama hingga sempurnalah empat ruku' dan empat sujud. Setelah itu matahari muncul seperti biasanya, yaitu sebelum beliau pulang ke rumah. Beliau terus berdiri dan menyampaikan khutbah, memuji Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya. Tak lama kemudian, beliau bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan dua tanda kekuasaan Allah Azza wa Jalla. Terjadinya gerhana matahari atau bulan itu bukanlah karena kematian seseorang atau kehidupannya. Oleh karena itu, jika kau menyaksikan gerhana bergegaslah untuk mengerjakan shalat." (HR. Muslim)

Ibnu Abbas juga meriwayatkan hadits shalat gerhana sebagaimana dicantumkan Imam Al Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahih beliau:

عنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ انْخَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ، وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتِ الشَّمْسُ ، فَقَالَ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

Dari Abdullah bin Abbas, bahwa pada suatu hari terjadi gerhana matahari. Lalu Rasulullah SAW berdiri untuk mengerjakan shalat. Beliau berdiri lama sekali, kira-kira sepanjang bacaan surat Al-Baqarah, kemudian beliau ruku' juga sangat lama. Lalu berdiri kembali dengan waktu yang sangat lama, tetapi lebih pendek dibandingkan dengan waktu berdiri yang pertama tadi. Kemudian beliau ruku' lagi yang lamanya lebih pendek daripada ruku' pertama. Lalu beliau sujud. Selanjutnya beliau berdiri lagi dan waktu berdirinya sangat lama hingga hampir menyamai rakaat pertama. Setelah itu beliau ruku' dan lamanya hampir sama dengan ruku' yang pertama. Lalu berdiri lagi, tetapi lebih pendek dibanding dengan berdiri yang pertama. Kemudian ruku' lagi yang lamanya lebih pendek daripada ruku' pertama, dan kemudian sujud. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat, matahari telah kembali normal seperti biasa. Beliau bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah karena kematian atau kehidupan seeorang. Maka jika engkau melihatnya, ingatlah dan berzikirlah kepada Allah" (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abdil Barr mengatakan, "dua hadits di atas adalah hadits paling shahih mengenai shalat gerhana."

Ibnu Qayyim mengatakan, "Hadits yang shahih, sharih, dan dapat dipakai sebagai pegangan dalam masalah shalat gerhana adalah dengan mengulangi ruku' setiap rakaat, berdasarkan hadits Aisyah, Ibnu Abbas, Jabir, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Amr bin Ash, dan Abu Musa Al Atsari. Semua meriwayatkan hadits dari Nabi SAW bahwa ruku'nya diulang dua kali dalam tiap raka'at. Para perawi yang meriwayatkan berulangnya ruku' itu lebih banyak jumlahnya, lebih dapat dipercaya, dan lebih erat hubungannya dengan Rasulullah jika dibandingkan dengan perawi-perawi yang mengatakan tidak perlu melakukan ruku' secara berulang-ulang. Begitu pula pendapat mazhab Maliki, Syafi'i, dan Ahmad. Tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana itu adalah dua rakaat dan mengerjakannya seperti shalat Hari Raya atau Shalat Jum'at.

Ringkasan Tata Cara Shalat Gerhana Matahari


Secara ringkas, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut :
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya, disunnahkan yang panjang dan dibaca jahr (keras) oleh Imam ketika shalat gerhana berjama'ah
4. Ruku' (disunnahkan waktu ruku' lama, seperti waktu berdiri)
5. Berdiri lagi kemudian membaca Al Fatihah dan surat lainnya (disunnahkan lebih pendek daripada sebelumnya)
6. Ruku' lagi (dengan waktu ruku' disunnahkan lebih pendek dari ruku' pertama)
7. I'tidal
8. Sujud
9. Duduk di antara dua sujud
10. Sujud kedua
11. Berdiri lagi (rakaat kedua), membaca surat Al Fatihah dan lainnya (disunnahkan yang panjang)
12. Ruku' (disunnahkan waktu ruku' lama, seperti waktu berdiri)
13. Berdiri lagi kemudian membaca Al Fatihah dan surat lainnya (disunnahkan lebih pendek daripada sebelumnya)
14. Ruku' lagi (dengan waktu ruku' disunnahkan lebih pendek dari ruku' pertama)
15. I'tidal
16. Sujud
17. Duduk diantara dua sujud
18. Sujud kedua
19. Duduk Tahiyah akhir
20. Salam

Setelah selesai shalat gerhana, khatib memberikan khutbah yang berisi pesan ketaqwaan.

Demikian panduan shalat gerhana matahari yang disarikan dari Fiqih Sunnah dan pernah dimuat di Bersamadakwah.com. Wallahu a’lam bish shawab. [Ibnu K/Tarbiyah.net]







IKLAN
Tag : Fiqih IKLAN
Back To Top