Begini Perubahan Neuroplastisitas Otak Pelaku LGBT Dibandingkan Orang Normal

Dr Taruna Ikrar (Facebook.com)
Ilmuwan Universitas California asal Indonesia, Dr. Taruna Ikrar, M.D. M. Pharm.,PhD menjelaskan perubahan yang terjadi pada otak pelaku homoseksual. Dengan menggunakan FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging), terlihat perbedaan pencitraan otak pelaku homoseksual dibandingkan orang normal.

Senior Specialist and Neuroscientist, Division Neurobiology pada University of California ini menjelaskan, otak adalah bagian paling kompleks dari tubuh manusia. Otak memiliki fungsi utama sebagai pusat kemampuan berpikir, kecerdasan, mengingat, inovasi, serta pusat penafsiran terhadap fungsi panca indra, inisiator gerakan tubuh, dan pengendali perilaku. Termasuk orientasi seksual yang ditentukan oleh cara berpikir seseorang terhadap lawan jenis.

Otak terdiri atas 100 miliar sel saraf atau neuron yang saling berhubungan. Hubungan antar sel saraf disebut sinaps yang terjadi melalui impuls listrik dan kimiawi dengan neurotransmiter sebagai perantara. Neurotransmiter berperan dalam pengaturan sistem kerja antarneuron. Jika terjadi gangguan pada neurotransmiter, neuron akan bereaksi abnormal.

“Dalam ilmu saraf dikenal istilah plastisitas otak, yakni kapasitas sistem saraf untuk mengubah struktur dan fungsinya sebagai reaksi terhadap keragaman lingkungan,'' kata doktor Taruna seperti dikutip Republika.




Cara berpikir dan orientasi seksual tersebut, menurut doktor Taruna, sangat dipengaruhi oleh pola pikir seseorang, yang tentu saja menentukan hubungan antara sel sel saraf otak tersebut.

Karena pola pikir seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, pengalaman terhadap jenis seks tertentu ataupun akibat trauma tertentu, maka secara neuroplastisitas akan terstruktur hubungan tertentu di otak. Struktur hubungan yang terbentuk di otak itulah yang membedakan citra otak antara pelaku homoseksual dengan orang normal pada umumnya.

Doktor Taruna menambahkan, secara fungsional umum, disorientasi seksual itu akan meregulasi sistem hormonal tertentu atau neurotransmitter tertentu yang menetap dalam pikiran, keyakinan, ketertarikan, serta gairah seperti yang dialami oleh orang-orang LGBT.

Sebelumnya, Dr. dr. Fidiansjah, Sp.KJ membantah pernyataan pendukung LGBT yang menyebut bahwa perilaku seksual itu bukanlah gangguan. Psikiater itu juga mengungkap kebohongan klaim LGBT dalam buku saku mereka. (Baca: Argumen Ilmiah Dr Fidiansjah Bikin Pendukung LGBT Mati Kutu)

Karena LGBT adalah sebuah gangguan jiwa, maka ia juga bisa disembuhkan. “Kami membuka diri (untuk membantu kesembuhan penderita LGBT),” terangnya di acara ILC, Selasa (16/2/2016). [Siyasa/Tarbiyah]








IKLAN
Tag : Akhbar, Mancanegara IKLAN
Back To Top